5 Kiper Terbaik Indonesia
Indonesia secara tim mungkin masih belum menjanjikan untuk berprestasi sampai sejauh ini, banyak pemain bagus dan memiliki begara yang luas tidak menjamin, bangsa ini akan mudah meraih prestasi lebih. Ada begitu banyak faktor yang harus kita kerjakan untuk bisa membangkitkan persepakbolaan negara ini.
Salah satunya cara untuk memperbaikinya adalah dengan memiliki stok pemain yang mumpuni. Dan salah satu posisi untuk pemain yang sulit untuk kita dapatkan adalah posisi kiper. Posisi kiper menjadi benteng terakhir di pertahanan. Kalau kita menoleh ke belakang, posisi kiper untuk timnas memang persaingannya tidak seperti di posisi lainnya. Sampai saat ini ada lima kiper yang mungkin bisa kita bilang terbaik untuk timnas. Siapa sajakah mereka, berikut datanya :
Ponirin Meka
Ketika Ribut Waidi “meledakkan” Senayan (saat ini Stadion Utama Gelora Bung Karno), yang kemudian diiringi genderang kemenangan melalui alunan lagu Indonesia Raya, Ponirin Meka yang jauh dari keramaian hanya bisa mengepalkan kedua tangannya ke udara. Saat itu, pada pertandingan final SEA Games 1987 yang menyedot animo sebagian besar masyarakat Indonesia, timnas berhasil mengalahkan Malaysia, 1-0. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia berhasil merebut medali emas cabang sepakbola dalam gelaran SEA Games.
Ponirin Meka merupakan kiper utama timnas Indonesia dalam gelaran SEA Games 1987 tersebut. Kiper yang besar bersama PSMS Medan ini bukan kiper sembarangan. Sebelum menjadi andalan timnas, kehebatan Ponirin dalam menjaga gawang PSMS Medan pernah membuatnya dibenci oleh publik Jawa Barat, terutama penggemar Persib. Bagaimana tidak, kemampuannya dalam menghadapi “regu tembak” dalam drama adu penalti membuat PSMS Medan dua kali mengalahkan Persib pada final Perserikatan, tahun 1983 dan 1985. Bahkan pada final tahun 1985, Ponirin berhasil menggagalkan tendangan tiga algojo Persib: Giantoro, Walter Sulu, dan Adjat Sudrajad.
Sebelum membawa timnas Indonesia menjadi yang terbaik dalam gelaran SEA Games 1987, kiprah Ponirin Meka di ajang Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan, juga tak boleh dipandang sebelah mata. Performa ciamik Ponirin di bawah mistar berhasil membawa Indonesia melaju hingga ke babak semifinal. Saat menghadapi Uni Emirat Arab (UEA) pada babak perempat-final, Ponirin berhasil menggagalkan dua tendangan penalti UEA. Yang pertama terjadi pada babak kedua, membuat kedudukan 2-2 bertahan hingga akhir waktu normal, dan yang kedua terjadi dalam drama adu penalti, membuat Indonesia berhasil lolos ke babak semifinal. Sayang, Indonesia kemudian harus menyerah, 4-0, dari tuan rumah, Korea Selatan.
Eddy Harto
Dalam persiapan menghadapi SEA Games 1991 di Manila, Filipina, berapa kali gawang timnas Indonesia yang dikawal oleh Eddy Harto kebobolan?
Jawabannya: Banyak!
Pada gelaran Piala Presiden di Seoul, Korea Selatan, dalam tiga pertandingan, gawang Eddy Harto kebobolan dua belas kali. Tiga kali dari Korea Selatan, tiga kali dari Malta, dan enam kali dari Mesir. Mengingat filosofi Anatoli Polosin, pelatih timnas saat itu, yang menekankan pentingnya pertahanan, kemasukkan dua belas gol dalam tiga pertandingan adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Menariknya, hal tersebut tak mengurangi kepercayaan Polosin terhadap kemampuan Eddy Harto.
Di Filipina, Indonesia berhasil meraih medali emas SEA Games untuk kedua kalinya tanpa sekali pun mengalami kekalahan. Bahkan, dalam waktu normal timnas hanya kebobolan satu kali dalam enam pertandingan, yaitu saat menang 1-2 atas tuan rumah Filipina. Prestasi tersebut tentu saja tak luput dari kinerja Eddy Harto di bawah mistar. Dan puncak performa menawan Eddy Harto terjadi pada laga semifinal dan final.
Pada babak semifinal, setelah bermain imbang tanpa gol dalam waktu normal, Indonesia akhirnya berhasil menyingkirkan Singapura melalui babak adu penalti. Saat itu Eddy Harto menjadi bintang kemenangan timnas setelah berhasil menggagalkan tendangan dua algojo Singapura.
Pada pertandingan final yang menentukan, yang digelar di stadion Rizal Memorial, Filipina, stadion yang pada tahun 1966 lalu pernah menjadi saksi bisu kehebatan The Beatles, band legendaris asal Inggris, lagi-lagi Indonesia harus menang melalui drama adu penalti. Dalam waktu normal, seperti pada pertandingan semifinal, Indonesia bermain imbang tanpa gol menghadapi raksasa Asia Tenggara, Thailand. Indonesia akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang setelah Eddy Harto berhasil menggagalkan dua tendangan penalti Thailand.
“Saya ingin menang adu penalti saat melawan Thailand. Saya ingin terkenal dari pertandingan itu,” kata Eddy Harto saat mengenang pertandingan final yang menegangkan tersebut.
Eddy kemudian memang benar-benar terkenal karena Indonesia tak pernah sekali pun meraih gelar bergengsi lagi setelah menjadi yang terbaik di ajang SEA Games 1991 tersebut. Hingga kini, meski sudah lebih dari dua dekade, kepahlawanan Eddy Harto masih sering dibicarakan oleh banyak orang.
Kurnia Sandi
Jebolan PSSI Primavera ini merupakan satu-satunya kiper asal Indonesia yang pernah bermain bersama klub Eropa. Pada tahun 1994, kiper kelahiran Semarang tersebut digaet oleh Sampdoria, salah satu klub asal Italia. Meski Sandy sama sekali tidak bermain saat berseragam Sampdoria, pencapaiannya saat itu layak untuk diacungi jempol. Lalu, bagaimana peruntungannya bersama timnas Indonesia?
Dalam gelaran Piala Asia 1996, timnas Indonesia sempat mengejutkan publik Asia. Bermain menghadapi Kuwait, salah satu kandidat kuat juara, Indonesia sempat unggul 2-0. Indonesia unggul melalui gol tendangan salto Widodo Cahyono Putro yang spektakuler itu dan tendangan Ronni Wabia. Dalam pertandingan tersebut, Widodo memang mencuri perhatian karena golnya, tapi kinerja Kurnia Sandy di bawah mistar adalah salah satu alasan mengapa Indonesia tampil mengejutkan. Setidaknya, hingga menit ke-72, penampilan prima Sandy membuat penyerang-penyerang Kuwait nyaris putus asa. Usaha mereka untuk menjebol gawang Indonesia sering mentah di tangan mantan kiper Pelita Jaya tersebut. Saat itu tercatat lebih dari lima peluang yang berhasil digagalkannya. Sayang, setelah Hani Al-Saher, penyerang Kuwait, bisa mengalahkannya untuk memperkecil ketinggalan, Sandy harus digantikan karena dia berbenturan keras dengan salah seorang pemain Kuwait. Sepeninggalan Sandy, Kuwait akhirnya bisa menyamakan kedudukan.
Pada dua pertandingan selanjutnya, Sandy harus absen. Posisinya kemudian digantikan oleh Hendro Kartiko. Tanpa kehadiran Sandy, Indonesia dua kali kalah dan gagal melangkah ke babak selanjutnya.
Selain bermain bersama timnas di ajang Piala Asia 1996, Kurnia Sandy juga bermain bersama timnas di ajang Piala Tiger 1996 dan 1998, dan Sea Games 1997. Sayang, pada Piala Tiger 1996 dan 1998 Indonesia gagal di babak semifinal, dan pada Sea Games 1997 Indonesia harus puas mendapatkan medali perak setelah dalam partai final kalah adu penalti dari Thailand. Secara keseluruhan Kurnia Sandy bermain sebanyak 24 kali bersama timnas.
Hendro Kartiko
Hendro Kartiko adalah salah satu kiper terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Dia mempunyai reflek yang bagus dan tangguh saat menghadapi duel satu lawan satu, dan membuat rekan-rekannya nyaman saat dia berada di bawah mistar. Tak heran jika Hendro menjadi kiper yang paling sering tampil bersama timnas Indonesia. Tercatat Hendro tampil sebanyak 60 kali.
Salah satu penampilan terbaik Hendro bersama timnas terjadi dalam gelaran Piala Asia 2000. Saat itu Indonesia memang gagal melewati babak penyisihan grup. Namun penampilan apik Hendro Kartiko sepanjang turnamen membuatnya menjadi salah satu kiper terbaik Piala Asia 2000. Bersama kiper Tiongkok, Hendro masuk tim All-Star Piala AFC 2000. Selain itu, penampilan apik Hendro juga membuatnya mendapatkan julukan ‘Fabian Brathez dari Indonesia’.
Hingga Piala AFF 2007, posisi Hendro di bawah mistar timnas Indonesia nyaris tak tergantikan. Meski ia gagal memberikan gelar bergengsi bagi Merah Putih, kehebatannya tak pernah dipandang sebelah mata. Di level klub, Hendro Kartiko tiga kali meraih juara liga (dua kali bersama Persebaya dan sekali bersama PSM Makassar), dan satu kali juara Piala Indonesia (bersama Sriwijaya FC). Selain itu, Hendro juga pernah dinobatkan sebagai kiper terbaik Liga Indonesia pada tahun 1999. Hendro Kartiko pensiun pada tahun 2012 lalu.
Kurnia Meiga
Secara mengejutkan, Arema berhasil menjadi yang terbaik di ajang ISL musim 2009/2010. Apa yang dilakukan Arema saat itu memang seperti dongeng. Pasalnya, Arema yang nyaris bangkrut terpaksa harus mengandalkan pemain-pemain mudanya untuk mengarungi kompetisi. Namun, racikan maut Rene Alberts, pelatih Arema saat itu, membuat anak-anak muda Arema mampu tampil dengan performa terbaiknya. Dan salah satu pemain muda Arema yang menonjol saat itu adalah adalah kiper mereka yang masih berusia 19 tahun, Kurnia Meiga.
Diperkirakan menjadi cadangan Markus Haris Maulana, kiper nomor satu Indonesia saat itu, Meiga justru menjadi pilihan utama Alberts. Meiga tampil sebanyak 24 kali bersama Arema pada musim itu, sedangkan Markus hanya tampil sebanyak 9 kali.
Dengan tinggi yang mencapai 190 centimeter, Meiga adalah jaminan mutu di bawah misar gawang Singo Edan. Meski masih muda, Meiga jarang membuat kesalahan. Selain itu, Meiga juga mempunyai karakter seorang pemimpin. Dia sering memberikan komando pada pemain-pemain belakang Arema yang ada di depannya.
Performa apik Meiga bersama Arema kemudian membuatnya menjadi andalan timnas, terutama timnas U-23. Meiga berhasil dua kali membawa timnas U-23 ke babak final SEA Games, 2011 dan 2013 (Meiga menjadi kapten pada SEA Games 2013). Sayang, dalam dua kali kesempatan tersebut Indonesia harus kalah. Sejauh ini, Meiga sudah 26 kali tampil bersama timnas U-23. Di timnas senior, karena adanya beberapa masalah (dualisme liga dan sanksi FIFA) Meiga baru bermain sebanyak sembilan kali.
Beberapa waktu lalu, Meiga dikabarkan menjalani trial di Gamba Osaka, salah satu klub terbaik di Jepang. Jika berhasil, mengingat usianya kini masih 25 tahun, bukan tidak mungkin Meiga akan mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan berkompetisi di divisi teratas Liga Jepang. Tentu saja, hal tersebut juga menguntungkan bagi timnas Indonesia.