Top Skor

5 Penyebab Gagalnya Klub Asal Italia Berguguran di Eropa

Babak 16 besar liga champion dan liga UEFA telah selesai dilaksanakan dan faktanya tidak ada satupun wakil dari klub Italia yang lolos ke perempat final. Di liga champion, sebelumnya masih tersisa AS Roma yang dikalahkan Real Madrid dan Juventus yang dikalahkan Muenchen. Di liga UEFA, Italia diwakilkan Lazio yang harus mengakui keunggulan Sparta Praha.

Apa yang menjadi penyebab kegagalan tim Italia, padahal seperti kita ketahui tim Italia adalah penguasa liga Champion dan Liga UEFA. Apa yang salah dengan tim asal Italia. Berikut kami coba menganalisa hal-hal yang bisa dijadikan alasan gugurnya tim asal Italia ini. Berikut penjelasannya :
coppa italia


1. FAKTOR FINANSIAL

Ada satu hal yang membuat geliat Serie A semakin padam dan itu menumbuhkan rasa putus asa, hal itu adalah uang. Kurangnya uang yang berputar di liga membuat liga ini semakin sulit bersaing, krisis ekonomi berdampak negatif pada industri ini. Berbeda dengan Inggris, Spanyol dan Jerman, Serie A mendapatkan terpaan keras dari dampak krisis keuangan. Kebanyakan pemilik klub yang berjuang dengan masalah keuangan tak juga menemukan solusi dan tim mereka akhirnya menerima akibat dari semua itu.

Orang-orang seperti Silvio Berlusconi dan Maurizio Zamparini mengeluarkan kebijakan klub dengan membatasi pengeluaran klub untuk urusan belanja pemain. Dan bisa dipastikan bahwa hal itu berdampak negative, jika dibandingkan dengan liga-liga top Eropa lainnya, ada sedikit pendapatan yang datang ke kas klub dalam bentuk barang dan penjualan tiket. Sementara itu tawaran siaran televise, Serie A tidak bisa menghasilkan jumlah fantastis seperti yang didapatkan oleh Premier League.

Akibatnya, hal ini membuktikan ada hal lebih sulit bagi tim Italia untuk bersaing mendapatkan pemain terbaik, juga sulit untuk mempertahankan yang telah ada. Pertimbangan Berlusconi untuk AC Milan, yang kini telah menjadi terkenal karena langkah untuk mendapatkan pemain secara gratis menjadi hal yang lumrah.

Dan bek legendaris Alessandro Nesta mempertegas keadaan yang buruk di Italia, dia mengatakan di BBC sebagai berikut :”Tidak ada uang di Italia saat ini, dan pemain terbaik pergi bermain di liga lain, Spanyol, Inggris, Jerman. Dan Italia akan turun.” tegasnya.

2. FAKTOR TRANSFER PEMAIN

Kesulitan keuangan di Seria A telah mengakibatkan masalah lain, penurunan standar sepakbola. Ketidakmampuan untuk menarik pemain top berarti bahwa Italia tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi pemain hebat seperti Diego Maradona, Michel Platini, Marco van Basten atau Gabriel Batistuta yang dulu pernah berjaya bersama klub Italia.

Tapi, saat ini klub di Italia cenderung berlindung diantara para pemain gaek yang telah melawati masa produktif, meski di masa lalunya mereka adalah nama-nama besar, tapi jelas usia menjadi perkara yang sangat serius di olahraga ini. Serie A menjadi liga berkumpulnya bagi para pemain yang terbuang dari liga top Eropa lainnya, sejauh ini ada beberapa nama gaek yang akhirnya merumput di Italia sebut saja Nemanja Vidic, Patrice Viera dan Ashley Cole adalah beberapa nama yang tidak lagi digunakan di klub sebelumnya.

Tak heran jika Italia terus menderita di Eropa, jika Juventus mendominasi Italia maka mereka tak terlalu digdaya ketika bertemu dengan klub dari liga lainnya. Bahkan sejak tahun 2007, ketika AC Milan meraih gelar Liga Champions, hanya satu tim Italia yang telah berhasil melewati perempatfinal, dengan Inter Milan yang akhirnya mampu menjuarai liga tertinggi di Eropa di bawah besutan Jose Mourinho, setelahnya klub-klub dari Italia perlahan-lahan mulai tenggelam.

3. FAKTOR INFRASTRUKTUR

Empat tahun lalu, Italia kalah dari Perancis untuk tawaran menjadi tuan rumah kejuaraan Eropa tahun 2016. Bagi banyak pengamat, itu tidak terlalu mengejutkan, karena telah banyak bukti yang menunjukkan bobroknya stadion di Italia dan budaya para fans yang kurang baik bagi orang luar. Untuk Serie A dan sepakbola Italia secara umum, itu adlaah hilangnya kesempatan untuk mendorong perbaikan yang didanai pemerintah untuk infrastruktur stadion.

Banyak stadion yang menjadi kandang bagi klub Serie A adalah peninggalan dari era Perang Dunia II. Ya, mereka memperbaharui stadion sebelum Piala Dunia 1990, tapi 25 tahun kemudian, itu tidak diterima secara luas bahwa mereka sudah ketinggalan jaman. Kendala utama untuk rencana renovasi adalah kenyataan bahwa stadion di Serie A tidak dimiliki oleh klub. Juventus adalah pengecualian, dengan stadion baru yang sangat memukau.

Sementara tim lainnya tidak bisa melakukan apa yang mereka inginkan dengan bangunan-bangunan kuno yang mereka miliki dan dengan demikian mereka akan tetap dalam kondisi yang sama. Perjuangan untuk memiliki stadion kembali bisa menjadi sangat sulit. Presiden Napoli Auerlio De Lurentis pernah mengancam untuk memindahkan klubnya jauh dari kota jika rencana untuk stadion bar uterus mendapatkan hambatan.

Dalam beberapa tahun terakhir, rata-rata penonton di Serie A turun menjadi sekitar 16 ribu, jauh di belakang liga utama Eropa. Stadion tua berdebu tidak membantu dan itu adalah alasan lain mengapa pendapatan per pertandingan berkurang. Yang dibutuhkan Serie A adalah sesuatu yang baru dimiliki oleh klub itu sendiri, agar kembali menarik hati para fans ke stadion dan kemudian meraih pundi-pundi uang ke kantong klub.

4. FAKTOR RADIKALISME

Untuk mengatakan bahwa Serie A telah mendapatkan masalah karena fans nakal akan menjadi pernyataan besar yang akirnya menghancurkan liga mereka. Ini akan menjadi sangat sulit ketika fans nakal telah membawa pertandingan menjadi lebih buruk dan mengakibatkan ditunda atau bahkan dihentikannya pertandingan karena ulah mereka, atau ketika mereka menargetkan ras khusus untuk menjadi sasaran perilaku buruk mereka dengan teriakan kasar atau menghina para pemain.

Tanggapan resmi selalu sama, denda dari klub masing-masing dan mungkin memberikan larangan melakukan pertandingan tanpa penonton di stadion. Tidak mengherankan, itu juga tidak akan membantu. Pada saat yang sama hal itu seperti sebuah sanksi biasa.

Tentu saja ini juga menjadi penyebab utama menurunnya prestasi para tim Italia, terlebih ada fakta bahwa para pemain kelas dunia bisa jadi enggan merapat karena perilaku pra fans yang kurang baik. Tak ada seorang pun yang ingin bermain di stadion di mana kita harus meringkuk dalam ketakutan dari kembang api atau tetap melirik untuk menghindari kekerasan.

Fakta bahwa masih ada penggemar yang bertindak rasis terhadap para pemain kuli hitam menjadi masalah yang harus diuraikan. Pihak berwenang harus segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi masalah ini atau resiko yang lebih besar akan didapatkan karena para pemain dengan talenta luar biasa enggan bergabung di liga mereka, bukan hanya itu saja, sponsor juga perlahan-lahan akan meninggalkan mereka.

5. FAKTOR MAFIA

Ini adalah tonggak terjunnya sepakbola Italia, berbagai skandal menerpa Serie A, beberapa klub terjerat kasus pengaturan skor yang lebih dikenal dengan skandal Calciopoli dan melibatkan beberapa klub besar, tercatat Juventus dikirim ke Serie B, sementara AC Milan, Lazio, Fiorentina dan Reggina mendapatkan pengurangan poin. Sementara itu manajer umum Bianconeri Luciano Moggi menadapatkan larangan seumur hidup untuk tak bergelut di dunia sepak bola.

Tidak hanya itu saja, beberapa skandal juga menghantam para pemain setiap musim di Italia. Serangkaian kejahatan dilakukan oleh pemain, manajer, wasit dan ofisial telah membawa sepakbola Italia semakin bobrok, tapi ada secercah harapan muncul di musim panas 2006, setelah Italia mampu membawa Piala Dunia ke tanah air mereka.

Klub-klub itu akan pulih dari semua yang menerpa mereka dalam beberapa tahun kemudian, tetapi Calciopoli adalah tanda yang sulit dihapuskan diingatan siapa pun.

Mereka diselidiki termasuk Domenico Criscito yang kemudian ditarik dari skuat Italia di Euro 2012. Perdana Menteri Italia Mario Monti dan pelatih tim nasional Cesare Prandelli menyarankan untuk menarik diri dari turnamen. Dan bukan hal yang mengejutkan jika sepakbola Italia mengalami terjun bebas dalam beberapa dekade ini.

Related Articles

Back to top button